Pencegahan Wabah Gumboro pada Ayam Broiler ~ Agro Budidaya

Pencegahan Wabah Gumboro pada Ayam Broiler




Pencegahan Wabah Gumboro pada Ayam Broiler | Agro Budidaya -Sepanjang nyaris 4 th. pada awal mulanya, peternakanbroiler (ayam pedaging) punya Joko Susilo belum pernah punya masalah dengan IBD (Infectious Bursal Disease) atau yang di Indonesia di kenal dengan gumboro. Namun sebagian kandang peternakannya yang berlokasi di Bogor serta Garut seputar 5 bln. lantas disatroni penyakit viral yang menyerang system pertahanan badan ayam itu. Kasusnya, kata Joko, mengakibatkan kematian beberapa ayamnya setiap hari. “Kematian masih tetap dibawah 1 persen /hari. 

Namun cukup bikin kita cemas lantaran keadaan lingkungan yang buruk serta cuaca ekstrim, ” ungkap Joko.

Kontrol bedah bangkai ayam yang terinfeksi, didapati tanda-tanda atropi atau pengecilan bursa fabrisius (organ imunitas yang berlokasi dibagian ekor ayam). Walau sebenarnya bila dahulu gejalagumboro ditandai dengan bengkak serta ada titik-titik seperti pengkejuan. “Kita kirim sampel ke laboratorium, akhirnya berlangsung persimpangan cukup jauh di titer antibodinya, ” katanya.

Joko mengira gumboro di kandangnya nampak disebabkan aspek lingkungan, pemanas, litter (alas kandang), serta program perluasan yang kurang benar, dan kwalitas DOC (ayam usia satu hari) yang alami penurunan. Cuaca panas mengakibatkan ayam konsumsi air minum semakin banyak hingga feses ayam encer serta litter jadi basah. “Kalau perluasan kandang tak dikerjakan, automatis kelembapan semakin tinggi. Hingga pemberian soda kue butuh dikerjakan juga sebagai alternatif jalan keluar, ” tuturnya.

Ia meneruskan, masalah gumboro di peternakannya adalah masalah tunggal, tak dipicu atau diimbangi penyakit lain. “Kalau betul-betul murni gumboro, puncak kematian berlangsung sepanjang 3 hari kemarin alami penurunan serta pada hari ke-3 diberi air gula konsentrasi 2 persen masalah usai. Namun apabila dibarengi manajemen yang buruk seperti litter basah, atau reaksi pasca vaksinasi di usia 4 minggu yang belum usai, bakal mengakibatkan ngorok, ” tuturnya.

Ia juga konsentrasi lakukan perbaikan internal. Salah satunya pemanasan periode brooding diperpanjang waktunya, pembersihan lingkungan, litter dijaga tak basah, serta menambahkan suplemen seperti probiotik yang mempunyai tujuan supaya feses kering hingga sekam tak lembab. Joko mengutamakan pelajari tiap-tiap periode apabila terserang masalah jadi sanitasi dan manajemen litter di periode selanjutnya mesti diperbaiki.

Kwalitas air juga di perhatikan Joko. “Asal kwalitas air serta manajemen saat brooding bagus, masalah penyakit seperti gumboro umumnya dapat ditekan, ” tuturnya. Ia menunjuk pemakaian air tanah untuk minum ayam tambah baik daripada air permukaan. Serta manajemen air minum dengan tandon tambah baik supaya air dapat diendapkan.

Kematian Meningkat
Technical Department ManagerRomindo Primavetcom, Antonius Sigit Pambudi juga mengungkap, berdasar pada penilaian di lapangan kecenderungan kematian disebabkan masalah gumboro (murni/tunggal) bertambah. Angka yang pada awal mulanya 2 – 5 persen jadi 20 – 50 persen, diantaranya teramati pada kandang broiler di daerah Jawa Barat, Sumatera, serta Jawa Timur dalam 3 bln. paling akhir.

Sigit memberikan, tanda-tanda klinis gumboro yang berdiri dengan sendiri (tunggal) berlangsung perdarahan atau hemoragi atau edema di bursa fabrisius, otot dada, serta otot kaki. Ayam tampak lesu, bulu berdiri, nafsu makan serta minum alami penurunan, dan grafik tingkat kematian berpola kurva lonceng.

Menurut Sigit, masalah gumboro semakin banyak berlangsung di broiler lantaran cuma sekali vaksinasi. Sedang di layer (ayam petelur) program vaksinasi gumboro dikerjakan tambah baik serta ketat. “Pada layer dikerjakan 4 kali. Yakni 3 kali pemberian vaksin live di usia 1, 14, serta 21 hari dan 1 kali pemberian vaksin ND + IBD killed di usia 4 hari, ” terangnya.

Ia juga menganalisa ada aspek lain yang menyebabkan kematian cukup tinggi pada broiler, sekalipun kasusnya tunggal gumboro. Ayam terlihat tak terproteksi dengan baik serta tanggapan pembentukan kekebalan pada vaksinasi gumboro tak jalan seperti harusnya. Disangka, kenyataan ini disebabkan keadaan immunosupresif (tertekannya system imunitas) yang dipicu kerancuan mikotoksin dalam pakan, atau karena lain lantaran penentuan vaksin yang kurang pas.

Aspek lain, lanjut Sigit, disebabkan kwalitas DOC yang dibawah standard hingga tanggapan pembentukan kekebalan pada gumboronya kurang bagus. Serta fluktuasi suhu lingkungan dengan amplitudo atau ketidaksamaan suhu siang serta malam yang terlampau lebar juga dimaksud Sigit mempunyai andil. “Perbedaan diatas 5 derajat Celcius sangatlah riskan pada gumboro, ” sebut dia.

Diluar itu, peternak kadang-kadang ambil langkah efisiensi yang salah, yang malah semakin bikin runyam. Umpamanya, lantaran harga pakan yang selalu merangkak, peternak pilih pakan yang lebih murah atau mengolah sendiri dengan kwalitas rendah. Atau, dengan argumen efisiensi mengaplikasikan penghematan gas atau pemanas, hingga kwalitas brooding kurang baik. “Suhu brooder di tiap-tiap daerah semestinya sesuai dengan keadaan lingkungan di tempat peternakan. Umpamanya di daerah Bandung Selatan yang suhunya dingin suhu brooding mesti tinggi, seputar 31 – 32 0C, ” kata Sigit.

Agak tidak sama, Technical Service Manager PT Lohmann Animal Health Indonesia, Lusiana Rismorini menyampaikan, masalah gumboro yang berdiri dengan sendiri (tunggal) menyusut dari th. ke th., walau nampak namun tak terlampau penting. Meski sekali, ia juga menyebutkan kemunculan gumboro lantaran ada aspek immunosupresi, yang bisa dicetuskan dari cemaran mikotoksin atau penyakit CAV (Chicken Anemia Virus).



Previous
Next Post »
Thanks for your comment